Jumat, 30 Desember 2011

Gunung Merapi


Sesudah meletupkan awan panas pertama kali pada Selasa (26/10) sore pukul 17.02 WIB, hingga kini letusan Merapi tak kunjung reda. Bahkan, hari ini saja, Rabu (3/11), luapan awan panas menyembur selama 1 jam lebih.

Status krisis gunung Merapi pun kini disematkan  Kepala Kepala Pusat Vulkonologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM Dr Surono. Pria yang hari-hari ini sibuk mengawasi Merapi tergopoh-gopoh saat gunung yang paling aktif itu menyemburkan awan panas yang sangat lama.

Mencekam, panik, itulah gambaran yang muncul dari raut wajah Surono dan ribuan pengungsi gunung Merapi. Tak mau berpikir panjang, Surono dan para petugas di pos pengamatan pun meninggalkan lokasi pengamatan untuk menghindari bahaya awas panas. Adapun, pengungsi diminta mundur sejauh 15 kilometer atau berada di luar radius 10 kilometer.

"Pengungsian diperluas karena adanya awan panas besar dimulai pukul 11.04 WIB yang lama, namun sejak pukul 16.09 WIB hingga 16.35 WIB, belum berhenti," kata Surono.

Letupan gunung Merapi yang tak kunjung berhenti itu memang tak ada yang memprediksi sebelumnya. Itulah mengapa pemerintah jauh-jauh hari memutuskan masa tanggap darurat Merapi 1 bulan. Mungkin saja, alasannya karena semburan Merapi yang sulit diprediksi berhenti.

Lantas, kapan semburan awan panas akan berhenti? Hingga kini, tak ada pihak yang berani memastikan secara tepat. Mereka masih menunggu kondisi dan fenomena lainnya dari Merapi sebelum mengambil suatu kesimpulan. Yang pasti, saat ini status Merapi masih berbahaya.

Krisis Merapi yang terus berlanjut seharusnya sudah mulai diperhitungkan untuk dikelola secara terukur, sistematis dan tepat sasaran. Hal ini diperlukan karena pemerintah sejauh ini masih terlihat kedodoran mengatasi para korban bencana. Sehingga, korban yang seharusnya selamat akhirnya tewas ditelan bencana.

Pengelolaan bencana yang terukur sangat penting agar bencana yang terjadi tak menjadi krisis. Ada benarnya jika kita perlu mendengar seruan Presiden agar para pengungsi menaati petunjuk pemerintah.

Tapi, lagi-lagi seruan itu datang terlambat. Kenyataan ini makin mengungkap tabir jika pemerintah tak belajar banyak dari petaka bencana yang telah merenggut ratusan ribu anak negeri ini.

Sementara, khalayak umum mafhum jika bencana bisa terjadi karena dua faktor, pertama karena faktor alam. Kedua, karena faktor ulah manusia. Namun, keduanya memiliki potensi krisis bila tidak ditangani dengan benar.

Bahkan publik semakin yakin jika Indonesia bukan hanya negeri berpemandangan elok, tapi juga rawan bencana. Gempa bumi dan tanah longsor bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Itulah mengapa dibutuhkan ketangkasan dan kecepatan yang terukur dalam mengatasi bencana alam.

Apalagi, bencana seperti gunung Merapi telah diprediksi jauh-jauh hari. Untuk kawasan Yogyakarta saja, pasca bencana gempa berkekuatan besar tahun 2006 lalu, daerah ini belum aman dari terjangan bencana.

Yogyakarta masuk dalam kategori provinsi rawan bencana di Indonesia karena ada delapan ancaman bencana. Kedelapan bencana itu adalah letusan gunung Merapi, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, epidemik demam berdarah, banjir dan angin kencang atau angin ribut.

Dan jauh-jauh hari pula Dewan Kehormatan Forum Pengurangan Risiko Bencana Yogyakarta dan Kepala Bidang Penanggulangan Bencana DIY telah menyosialisasikan kepada masyarakat perihal penanggulangan resiko akibat bencana. Tapi, entah kenapa dalam letusan gunung Merapi manajemen resiko itu tak berjalan efektif.

Di daerah rawan bencana, pemerintah seyogianya menyusun program mitigasi yang terencana. Kita bisa meniru Jepang yang bahkan sudah membiasakan anak-anak sejak di bangku sekolah dasar bersikap menghadapi bencana. 

Dari Warta News (google)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar